Ibarat benang kusut, budidaya pembesaran lobster masih jadi masalah yang belum juga teruraikan. Di sisi lain, penyelundupan sejak larangan ekspor benih lobster semakin marak.
Dilansir dari Harian Kompas 15 Maret 2019, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, mengatakan pembenihan lobster belum dikembangkan di Indonesia.
Padahal, Indonesia salah satu penghasil lobster. Selama ini lobster ditangkap dari alam. Pemerintah sendiri sebenarnya telah melarang penangkapan dan perdagangan benih lobster tangkapan dari alam.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus), Kepiting (Scylla), dan Rajungan (Portunus) dari Wilayah Indonesia.
Benih lobster yang diselamatkan dari penyelundupan sejak 2015 sampai 12 Maret 2019 sebanyak 6.999.748 ekor dengan perkiraan nilai Rp 949,48 miliar. Penyelundupan benih lobster ke Vietnam itu diduga melibatkan sindikat oknum aparat dan bandar di Vietnam.
Slamet mengemukakan, uji coba pembenihan lobster untuk budidaya telah dilakukan di beberapa balai perikanan budidaya milik pemerintah. Namun, tingkat keberhasilannya masih sangat rendah, yakni di bawah 0,1 persen.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan, ada dua opsi regulasi yang sedang dikaji, yakni penangkapan benih lobster untuk diekspor dan dibudidayakan di dalam negeri.
”(Ekspor) belum kita pastikan, masih dalam tahap pendalaman,” katanya.
Ia menambahkan, setiap hari ada penyelundupan benih lobster ke luar negeri. Jika benih lobster tidak dimanfaatkan, dibudidayakan, atau dibesarkan, benih itu secara alamiah tingkat hidupnya (SR) hanya 1 persen. Adapun jika dibesarkan, peluang hidupnya 40-70 persen.
Edhy juga menyebutkan kemungkinan mengubah larangan menangkap benur. Pengembalian benur hasil sitaan dari penyelundup ke alam dinilai tidak efektif. Diperkirakan hanya 1 persen yang bertahan hidup.
Menurut dia, jika sudah ada yang bisa membudidayakan benur, akan segera disiapkan langkah untuk mengoptimalkan. Jika belum, sudah ada investor dari Vietnam yang bersedia membuka budidaya benur di Indonesia.
Masalahnya, pemijahan lobster masih sulit dilakukan. Fakta di lapangan menunjukkan, budidaya lobster masih sebatas pembesaran benur. Biaya pembesaran benih lobster pun cukup tinggi.
Di dunia, belum ada yang berhasil mengembangkan pembenihan lobster. Jika yang akan dilakukan hanya pembesaran benur, sedangkan benur diambil dari alam secara besar-besaran, akan terjadi penurunan populasi, bahkan kepunahan lobster di alam.
Harga selangit
Bagi nelayan di Indonesia, menangkap benih lobster juga dianggap lebih menguntungkan. Bahkan dianggap lebih menjanjikan ketimbang menangkap ikan di laut saat bulan Januari-April.
Kawasan pantai di selatan Jawa, seperti Pacitan, Tulungagung, Trenggalek, Malang, dan Banyuwangi, adalah lokasi perburuan benih lobster.
Di periode awal tahun tersebut, banyak lobster bertelur dan benih baru menetas. Benih-benih itu berada di pinggir pantai sehingga mudah ditangkap dengan risiko kecil.
Modal kerja pun kecil dengan memasang perangkap sederhana dari kertas bekas bungkus semen.
Tahun 2015, WWF Indonesia memublikasikan temuan mereka di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Di sana, tangkapan anakan lobster berukuran 0,5-1,5 cm bisa mencapai 100.000 per bulan yang dijual Rp 15.000 per ekor ke pengepul.
Selanjutnya, anakan lobster itu dikirim ke Singapura, Vietnam, dan China untuk dibesarkan hingga ukuran konsumsi dan dijual mahal.
Ironi Lobster, Indonesia yang Punya Benih, Vietnam yang Untung Banyak
Email[email protected]
Phone+6261 6622 628 (Kantor)
+6261 6622 629 (Studio)
Mobile, Whatsapp, Line+62819 888 959
LocationJl. Pembangunan I No. 6
Krakatau, Medan - 20238